Monday, December 13, 2010

Mehami Tafsir Fatihah Ayat 7

PERBANDINGAN
TAFSIR KLASIK DAN MODERN SURAT AL-FATIHAH AYAT 7
Created By Misbahus Surur Cilacap
A.        PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang keotentikannya dijamin oleh Allah swt. dan selalu terpelihara sepanjang masa. Jaminan tersebut difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
 Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
Dengan adanya jaminan dari Allah swt. tersebut, semua umat muslim meyakini bahwa apa yang dibaca dan di dengarnya sebagai Al-Qur’an sama persis dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw., tidak ada sedikitpun perubahan di dalamnya.
Pada saat Al-Qur’an tersebut diturunkan, Rasulullah saw. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.[1]
Oleh karena itulah, Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. pada Nabi Muhammad saw. yang membacanya bernilai ibadah tersebut lafadznya akan tetap terjaga sepanjang masa, namun penafsirannya akan berkembang seiring waktu dan kondisi yang mempengaruhinya, sehingga tidak mengherankan kalau terdapat perbedaan penafsiran antara ‘ulama salaf (klasik) dengan ‘ulama khalaf (modern).
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana dipahami dan ditafsirkan ‘ulama salaf  tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Qur’an harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu hasil pemikiran dipengaruhi oleh sekian factor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[2]
Berangkat dari hal tersebut, dalam makalah ini, penulis akan memberikan contoh adanya perkembangan penafsiran ayat Al-Qur’an. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan tafsir beberapa ayat antara ‘ulama salaf (‘ulama klasik) dan ‘ulama khalaf (‘ulama modern). Setelah itu, penulis melakukan perbandingan dan menjelaskan perbedaan diantara keduanya untuk diketahui adanya perkembangan.
Dalam makalah ini, penulis akan mengambil tafsir klasik dari Al-Thabari dan Ibnu Katsir, sedangkan tafsir modern mengambil pendapatnya Al-Maraghi dan Quraish Shihab. Penulis akan mengawali dengan menyebutkan biografi singkat mufassir klasik dan mufassir modern tersebut di atas, kemudian memberikan contoh penafsiran mereka atas suatu ayat dalam Al-Qur’an. Setelah itu, barulah penulis mejelaskan adanya perkembangan penafsiran.


B.         MUFASSIR KLASIK DAN MODERN
1.      Biografi Mufassir Klasik
a.      Al-Thabari
1)      Kelahiran
Beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari,  dengan gelar kehormatan Imam Abu Ja’far.  Beliau adalah pembesar para ahli tafsir secara mutlak. Beliau juga salah seorang imam yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya pada masanya.[3] Al-Thabari dilahirkan pada tahun 224 H/839 M di kota Amul, Ibu Kota Thabaristan. Domisili terakhir adalah Baghdad dan meninggal di situ pada tahun 310 M/923 M.[4]

2)      Guru-Guru dan Karya Al-Thabari
Guru-guru Al-Thabari antara lain Ahmad bin Mani’, Abi Kuraib, Hannad bin al-Sirri, dan Yunus bin Abdul A’la.[5] Karya ilmiah Al-Thabari antara lain kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran dalam bidang tafsir, Tahdzibul Atsar, Tarikhul Umam, Ahkam Syarai’il Islam, dan lain-lain.[6]


3)      Corak dan Metode Penafsiran Al-Thabari
Ibnu Jarir ketika menafsirkan ayat al-Quran selalu berkata “ta’wil dari firman Allah SWT ini adalah demikian” kemudian ia menafsirkan ayat tersebut dan menyebutkan riwayat-riwayat (hadits) yang berkaitan dengan ayat tersebut yang sanadnya sampai pada sahabat atau tabi’in.[7]


b.      Ibnu Katsir
1)      Kelahiran
Ibnu Katsir, pengarang kitab tafsir yang bernama lengkap ‘Imad al-din Isma’il Ibn ‘Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fida. Ia lahir di Bashrah tahun 701 H / 1302 M dan meninggal dunia pada tahun 774 H/1373 M di Damaskus .[8]

2)      Guru dan Karya  Ibnu Katsir
Dalam bidang hadits ia banyak belajar dari ulama-ulama hijaz. Ia mempeoleh ijazah dari al-Wani’. Ia juga dididik oleh pakar hadits terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi (w 742 H/1342 M), yang kemudian menjadi mertuanya sendiri.

Karya-karya Ibnu Katsir diantaranya: Tafsir Ibnu katsir,  Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, al-Kutub al-Sittah, qashash al-Anbiya’, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Al-Fusul fi Sirah al-Rasulullah, Tabaqat al-syafi’iyyah, Manaqib al-imam al-Syafi’i, dan lain-lain[9]

3)      Corak dan Metode Penafsiran
Kitab Tafsir al-Quran al-Azim karya Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir dengan corak bi al-ma’tsur,[10] karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadits, pendapat sahabat dan tabi’in. Namun terkadang Ibnu Katsir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.
Adapun manhaj (metode) yang ditempuh oleh Ibn Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis) dan dapat pula dikatakan semi tematik (maudu’i).

2.      Biografi Mufassir Modern
a.      Al-Maraghi
1)      Kelahiran
Al-Maraghi mempunyai nama lengkap Syekh Muhammad Mushthafa Al-Maraghi. Beliau lahir di Maraghi, Mesir pada abad ke-18 (1881-1945 M). Al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang intelektual.[11]

2)      Pendidikan
Al-Maraghi memasuki pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1314 H/1897 M, oleh kedua orang tuanya Al-Maraghi disuruh meninggalkan pergi ke Kairo. Kemudian melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi, Darul Ulum di Kairo mulai tahun 1908, kemudian di Al-Azharlah beliau mendalami bahasa Arab, Tafsir, Hadis, Fiqh, Akhlak dan ilmu Falak.[12]

3)      Guru dan Karya  Al-Maraghi
Diantara guru-guru beliau adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis A-Muthi, dan Syekh Ahmad Rifa’i Al-Fayumi.
Karya Al-Maraghi antara lain Al-Hisbah Fi al-Islam, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, Tafsir Al-Maraghi, ‘Ulum al-Balaghah, dan lain-lain.[13]

4)      Karakteristik dan Metode Penafsiran Al-Maraghi
Ciri khas beliau selalu menampakkan kesalafannya, menghormati mufassir sebelumnya, yang kemudian sebagai acuan di dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Corak penafsiran Al-Maraghi adalah adab al-ijtima’i dan metode yang digunakan dalam penulisan tafsirnya adalah metode tahlili.

b.      Quraish Shihab
1)      Kelahiran
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Quraish Shihab, beliau lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944.
2)      Pendidikan
Beliau menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Kemudian di melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir AL-Qur’an dengan tesis berjudul Al-I’jaz Al-Tasiri’iy li Al-Qur’an Al-Karim.
Pada tahun 1980, melanjutkan pendidikannya di universitas yang sama, AL-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum laude  disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-‘ula).
3)      Karya Quraish Shihab
Buku karangan beliau yang terkenal antara lain Menyingkap Tabir Ilahi Asmaul Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, Rasionalitas Al-Qur’an, Membumikan Al-Qur’an, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Al-Mishbah. [14]
4)      Corak dan Metode Penafsiran   
Corak dari tafsir Al-Mishbah adalah adab al-ijtima’i. Adapun metode yang digunakan adalah metode tahlili .


C.   Contoh Perkembangan Penafirsan Ayat Al-Qur’an dari Periode Klasik Sampai Periode Modern
Dalam hal ini, penulis akan mengambil cotoh adanya perkembangan penafsiran kata  al-Maghdhûb ‘Alaihim dan al-Dhâllîn dalam surat Al-Fâtihah ayat 7. Allah swt. berfirman:

â صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَá

(yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. Al-Fatihah ayat 7)
a.       Penafsiran Ulama Klasik
1)                 Imam Al-Thabari
Dalam menafsirkan al-Maghdhûb ‘Alaihim (mereka yang dimurkai) dan al-Dhâllîn (mereka yang sesat), Al-Thabari mengandalkan riwayat dari para Shahabat. Menurut Al-Thabari, yang dimaksud dengan al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah orang Yahudi dan yang dimaksud dengan al-Dhâllîn adalah orang Nashrani.
Penafsiran tersebut didasarkan pada riwayat, antara lain riwayat dari Ahmad bin Walid Al-Ramli dan Muhammad Al-Mutsanna. Al-Thabari menuturkan, beliau menerima berita dari Ahmad bin Walid Al-Ramli, dari Abdullah bin Ja’far Al-Raqi dan Sufyan bin ‘Uyainah, dari Isma’il bin ABi Khalid, dari Al-Sya’bi, dari ‘Adi bin Hatim; ‘Adi bin Hatim berkata: Rasulullahullah saw. bersabda kepadaku: “Yang dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah orang Yahudi”. Muhammad Al-Mutsanna juga meriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim bahwasannya yang dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim menurut Rasulullahullah saw. adalah orang Yahudi.[15]
Demikian halnya ketika menafsiri al-Dhâllîn dengan tafsiran orang Nashrani, Al-Thabari juga mendasarkan pada riwayat. Antara lain riwayat dari Ahmad bin Walid Al-Ramli dan dan Muhammad Al-Mutsanna. Keduanya  meriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim bahwasannya yang dimaksud al-Dhâllîn menurut Rasulullahullah adalah  orang Nashrani.[16]
2)                Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menafsiri al-Maghdhûb ‘Alaihim dengan tafsiran orang Yahudi dan menafsiri al-Dhâllîn dengan tafsiran orang Nashrani.
Menurut Ibnu Katsir, jalan yang ditempuh oleh orang yang beriman itu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya. Orang Yahudi tidak mengamalkan kebenaran sedangkan orang Nashrani tidak mengetahui kebenaran. Oleh karena itulah ghadhab (murka) Allah swt bagi orang Yahudi dan kesesatan bagi orang Nashrani. Namun dalam ayat tersebut Allah swt. mengkhususkan orang Yahudi dengan murka sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah (QS 5:60), dan orang Nashrani dengan sesat, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus" (QS 5:77), namun sebenarnya  masing masing dari orang Yahudi dan Nashrani tersebut sama-sama tersesat dan dimurkai Allah.[17]
Penafsiran al-Maghdhûb ‘Alaihim dengan tafsiran orang Yahudi dan al-Dhâllîn dengan tafsiran orang Nashrani itu didukung dalil hadits dan atsar, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Adi bin Hatim bahwasannya Rasulullahullah menjelaskan padanya bahwa yang dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah  orang Yahudi dan al-Dhâllîn adalah orang Nashrani; Dan juga hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim, ketika ‘Adi bin Hatim bertanya kepada Rasulullahullah saw. tentang makna al-Maghdhûb ‘Alaihim dan al-Dhâllîn, Rasulullahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah  orang Yahudi dan al-Dhâllîn adalah orang Nashrani. Al-Dhahak dan Ibnu Suraij juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa yang dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah  orang Yahudi dan al-Dhâllîn adalah orang Nashrani. Bahkan Ibnu Abi Hatim berkata: Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mufassir dalam menafsiri ayat tersebut.[18]
Dari pemaparan tersebut, dipahami bahwa dalam menafsiri kata al-Maghdhûb ‘Alaihim dan al-Dhâllîn, antara Al-Thabari dan Ibnu Katsir tidak ada perbedaan, dimaksud al-Maghdhûb ‘Alaihim diartikan orang Yahudi dan al-Dhâllîn diartikan orang Nashrani. Mereka mendasarkan penafsirannya pada riwayat hadits Nabi saw.
b.       Penafsiran Ulama Modern
1)                 Al-Maraghi
Menurut Al-Maraghi, yang dimaksud dengan al-Maghdhûb ‘Alaihim dalam surat Al-Fatihah tersebut orang-orang yang telah sampai kepadanya ajaran agama yang benar yang disyari’atkan oleh Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya, namun mereka menolak dan membuangnya jauh-jauh. Mereka berpaling, tidak mau memperhatikan dan memikirkan  dalil-dalil yang ada, hanya karena ingin memegangi warisan nenek moyang mereka. Akibatnya mereka mendapatkan siksa di neraka jahannam, sejelek-jeleknya tempat tinggal.[19]
Sedangkan yang dimaksud dengan al-Dhâllîn dalam surat Al-Fatihah tersebut adalah orang-orang yang tidak mengetahui agama yang benar, atau tidak mengetahuinya secara benar. Mereka adalah orang-orang yang risalah tidak sampai kapada mereka, atau risalah tersebut sampai namun kebenarannya tidak jelas bagi mereka.  Mereka dalam kebutaan, tidak dapat menggunakannya untuk sampai pada kebenaran. Tidak jelas bagi mereka antara hak dan batil, antara benar dan salah. Jika mereka tidak tersesat dalam urusan dunia, mereka tersesat dalam urusan akherat. Orang-orang yang terhalang hidayah agama, nampak pengaruh kebingungan  pada perilaku hidupnya dan tertimpa musibah. Adapun mereka yang hidup pada masa yang kosong dari Rasulullah tidak di beri tanggung jawab syari’at dan tidak disiksa di  akherat nanati. Ini didasarkan pada firman Allah swt. yang artinya: dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasulullah (QS. 17: 15).[20]
Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagian berpendapat bahwa akal saja sudah cukup dalam taklif. Kapan seseorang diberi akal, ia wajib menggunakannya untuk berfikir tentang apa yang ada di langit dan di bumi, menghayati dan memikirkan Sang Pencipta, dan wajib untuk beribadah dan mengagungkan-Nya sesuai petunjuk akalnya dan hasil ijtihadnya. Dengan begitu, dia akan selamat dari siksa neraka pada hari akherat. Namun apabila tidak menjalankannya, ia termasuk orang yang akan mengalami kehancuran.[21]
2)                Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab, tentang siapakah al-Maghdhûb ‘Alaihim, ayat ini tidak menjelaskannya. Sementara ‘ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadits Nabi saw., menyatakan mereka adalah orang-orang Yahudi. Al-Qur’an juga memberitakan bahwa orang-orang Yahudi mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya. Atas dasar ini, ‘ulama tafsir lain memperluas pengertian al-Maghdhûb ‘alaihim sehingga mencakup semua yang telah mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.
Memang, penjelasan Rasulullahullah saw. tentang arti penggalan ayat di atas hanya sekedar sebagai contoh konkrit yang beliau angkat dari masyarakatnya. Mereka yang karena perbuatan-perbuatannya wajar untuk mendapat siksa/ancaman siksa Tuhan.
Penjelasan Rasulullahullah ini tentunya bukan berarti bahwa seluruh Bani Israil (orang Yahudi) mendapat murka. Yang mendapat murka hanyalah mereka yang melakukan pelanggaran. Sebaliknya, orang yang bukan Yahudi apabila melakukan pelanggaran yang sama tentu terancam pula dengan murka serupa. Murka dan nikmat Allah tidak dibagi-Nya atas dasar ras, bangsa, dan keturunan, tetapi atas dasar niat dan tingkah laku. Al-Qur’an menegaskan dan kesaksian sejarah membuktikan bahwa sunnatullah tidak berubah, tidak pula membeda-bedakan: “Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum (kamu) dan kamu sekali-kali tidak akan menjumpai perubahan pada sunnatullah. (QS. Al-Ahzab [33]: 62).
Sedangkan kata al-Dhâllîn boleh saja dipahami orang-orang Nashrani, sebagaimana informasi sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi saw.. Tetapi tanpa menolak informasi itu, di sini dapat diulangi penjelasan yang dikemukakan di atas tentang arti al-Maghdhûb ‘Alahim yakni bahwa penafsiran ini adalah contah yang diangkat Nabi dari masyarakat beliau ketika itu. Kata al-Dhâllîn ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak delapan kali dan kata al-Dhâllûn sebanyak lima kali. Paling sedikit ada tiga ayat dari ayat-ayat yang menggunakan kata al-Dhâllîn dan al-Dhâllûn yang dapat membantu memahami apa yang dimaksud Al-Qur’an dengan kata tersebut.
Pertama, QS. Ali ‘Imran [3]: 90.
“Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat”.
Kedua, QS. Al-An’am [6]: 77.
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat."
Ketiga, QS. Al-Hijr [5]: 56.
Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".
Ayat pertama di atas menggambarkan bahwa orang-orang kafir sesudah beriman dan bertambah kekufurannya adalah orang-orang yang sesat. Dari sini dipahami bahwa al-Maghdhûb ‘Alahim sebenarnya tergolong orang-orang yang sesat, demikian pula sebaliknya.
Dari kedua ayat terakhir yang dipilih di atas, dapat ditemukan tiga tipe dari al-Dhâllîn, yaitu;
a)     Orang-orang yang tidak menemukan atau mengenal petunjuk Allah swt. dan atau agama yang benar. Ia tidak mengetahui adanya ajaran agama atau pengetahuannya sangat terbatas sehingga tidak mengantarkannya untuk berpikir jauh ke depan. Mereka pasti tidak menyentuh kebenaran agama, dan mereka pasti sesat, paling tidak kesesatan perjalanan menuju kebahagiaan ukhrawi.
b)     Orang-orang yang pernah memiliki sedikit pengetahuan agama, ada juga keimanan dalam hatinya, namun pengetahuan itu tidak dikembangkannya, tidak juga ia mengasah dan mengasuh jiwanya, sehingga pudar imannya. Ia mengukur segala sesuatu dengan hawa nafsunya. Mereka ini dipuncak kesesatan, karena tipe pertama memang pada dasarnya tidak mengetahui, sedang tipe ini telah memiliki pengetahuan. Termasuk dalam tipe ini orang-orang yang hanya mengandalkan akalnya semata-mata dan menjadikannya satu-satunya tolok ukur, walaupun dalam wilayah yang tidak dapat disentuh oleh kemampuan akal.
c)     Apa yang digambarkan oleh QS. Al-Hijr di atas adalah mereka yang berputus asa dari rahmat Allah swt. banyak ragam keputus-asaan dan banyak pula penyebabnya, seperti putus asa akan kesembuhan, pencapaian sukses, pengampunan dosa, dan lain-lain, yang kesemuanya berakhir pada tidak bersangka baik kepada Allah swt.
Demikian  ayat terakhir surat Al-Fatihah ini mengajar manusia agar bermohon kepada Allah kiranya ia diberi petunjuk oleh-Nya sehingga mampu menelusuri jalan luas lagi lurus, jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang telah memperoleh sukses dalam kehidupan ini, bukan jalan orang yang gagal dalam kehidupan ini karena tidak mengetahui arah yang benar, atau mengetahuinya tapi enggan untuk menelusurinya.[22]
D.   PENUTUP
Dari pemaparan makalah ini, diketahui adanya perkembangan penafsiran kata  al-Maghdhûb ‘Alaihim (orang-orang yang dimurkai Allah) dan al-Dhâllîn (orang-orang yang tersesat) yang terdapat dalam surat Al-Fatihah. Pada periode klasik, kata  al-Maghdhûb ‘Alaihim ditafsiri dengan orang-orang Yahudi dan kata  al-Dhâllîn ditafsiri orang-orang Nashrani. Penafsiran tersebut didasarkan pada riwayat Hadits.
Sedangkan pada periode modern, kata  al-Maghdhûb ‘Alaihim tidak hanya ditafsiri dengan orang-orang Yahudi, namun mencakup orang-orang yang berperilaku seperti perilakunya orang-orang yahudi. Demikian juga kata  al-Dhâllîn tidak hanya ditafsiri orang-orang Nashrani, namun mencakup orang-orang yang berperilaku seperti perilakunya orang Nashrani. Penafsiran ini memahami riwayat hadits yang menerangkan makna kata  al-Maghdhûb ‘Alaihim adalah orang-orang Yahudi dan kata  al-Dhâllîn adalah orang-orang Nashrani itu hanya merupakan contoh.
Menurut penulis, adanya perkembangan penafsiran tersebut tidaklah bertentangan; karena pada saat Nabi saw. masih hidup, orang-orang Yahudi dan Nashrani sudah cukup untuk merepresentasikan orang-orang yang tersesat dan mendapat murka dari Allah swt., namun sekarang ketika kelompok orang sangat beragam, baik dari segi agama, ras, suku, maupun bangsa, pemahaman al-Maghdhûb ‘Alaihim sebagai orang-orang Yahudi dan al-Dhâllîn sebagai orang-orang Nashrani tidak lagi memadai. Sehingga harus dipahami bahwa makna al-Maghdhûb ‘Alaihim dan al-Dhâllîn tidak hanya terbatas pada orang Yahudi dan Nashrani, namun mencakup semua orang yang berperilaku seperti mereka, yakni mereka yang menolak kebenaran agama Islam dan tidak mau mengamalkannya.
Demikian makalah yang dapat penulis hadirkan, walaupun sudah berusaha dengan cukup maksimal, penulis mawas diri, bahwa tiada gading yang tak retak,  tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah penulis nantikan demi peningkatan kemampuan penulis.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, website: http://www.shamela.ws.
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikri, 1974).
Al-Zarkuli, Al-A’lam li al-Zarkuli, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, website: http://www.shamela.ws.
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr,1976).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, website: http://www.shamela.ws.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,  1994).
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2000).
M. Husein Abdul Hadziq, Deskripsi Tentang Tafsir Al-Qur'an Abad XX, Jurnal Theologia, No. 16, Desember 1992.










[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,  1994), hlm. 71.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,  1994), hlm. 95.
[3] Al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 16, website: http://www.shamela.ws.
[4] Al-Zarkuli, Al-A’lam li al-Zarkuli, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 6, hlm. 69, website: http://www.shamela.ws.
[5] Al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 16, website: http://www.shamela.ws.
[6] Ibid
[7] Dalam Mazhahib al- Tafsir al- Islam, terj. Abdul Halim an-Najjar, (Beirut: Dar Iqra’, 1983), hlm. 107.
[8] Al-Zarkuli, Al-A’lam li al-Zarkuli, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 320, website: http://www.shamela.ws.
[9] Ibid, hlm 134
[10] M. Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr,1976) hlm. 174.
[11]Abdul Hadziq, Deskripsi Tentang Tafsir Al-Qur'an Abad XX, Jurnal Theologia, No. 16, Desember 1992, hlm. 8.
[12]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. 2, hlm. 164.
[13] Al-Zarkuli, Al-A’lam li al-Zarkuli, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 258, website: http://www.shamela.ws.
[14] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,  1994), hlm. 6.

[15] Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 185, website: http://www.shamela.ws.
[16] Al-Zarkuli, Al-A’lam li al-Zarkuli, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 258, website: http://www.shamela.ws.
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, dalam al-Maktabah al-Syamilah, al-Ishdar al-Tsani, juz 1, hlm. 142, website: http://www.shamela.ws.
[18] Ibid
[19] Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikri, 1974), juz 1, hlm. 37.
[20] Ibid
[21] Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikri, 1974), juz 1, hlm. 37.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), juz 1, hlm 79-75.

No comments:

Post a Comment