Monday, December 13, 2010

Memahami Alasan Pendukung Rukyah Sebagai Pijakan Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal


Mengapa Rukyah Diperlukan Sebagai
Pijakan Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal?
Created By Misbahus Surur
A.       PENDAHULUAN
Allah swt. telah menjadikan 12 bulan untuk tahun hijriyyah, masing-masing bulan berumur 29 atau 30 hari. Pengetahuan tentang penetapan awal bulan hijriyyah ini menjadi penting karena banyak ibadah yang waktunya terkait dengan bulan-bulan tersebut, khususnya bulan ramadhan, syawwal, dan dzulhijjah. Kesalahan dalam penetapan awal bulan hijriyyah ini berakibat pada pelaksanaan ibadah tidak pada waktunya.
Penetapan bulan hijriyyah ini berbeda dengan penetapan bulan masehi. Penetapan bulan masehi sangatlah mudah karena bilangan harinya jelas; sedangkan penetapan bulan hijriyyah sebaliknya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan metode penetapan yang dilakukan. Secara umum, ada dua metode yang menjadi penyebab perbedaan tersebut, yakni metode rukyat dan metode hisab. Masing –masing dari pendukung dua metode tersebut sama-sama mendasarkan pada al-Qur’an dan hadits yang shahih. Namun semua sepakat bahwa penetapan bulan hijriyyah ini adalah merupakan sesuatu yang sangat penting, yakni agar seorang muslim dapat menjalankan ibadah yang terkait dengan bulan hijriyyah tepat pada waktunya.
Oleh karena itulah, penulis tergerak untuk membahas masalah tersebut dalam makalah ini. Menurut pemahaman penulis, metode yang kuat  dan lebih cocok pada kehendak Syari’ dalam penetapan awal bulan hijriyyah adalah metode rukyah. Disamping itu, istidlal penetapan awal bulan hijriyyah dengan hisab adalah lemah.
Untuk menjelaskan hal tersebut, di sini penulis akan menjelaskan argumentasi penulis dengan kenapa lebih cenderung pada metode rukyah dan menyampaiikan bantahan terhadap argumentasi penetapan awal bulan hijriyyah dengan metode hisab dengan pendekatan bahasa dan kaidah ushuliyyah. Karena menurut penulis, ilmu hisab hanyalah merupakan perantara agar rukyah dapat berhasil dengan baik dan benar. Sehingga hisab yang benar tidak akan bertentangan dengan rukyah. Dengan begitu, impian untuk menyatukan hisab dengan rukyah bukanlah suatu hal yang mustahil.
B.        PENGERTIAN BULAN HIJRIYYAH
Kata bulan dalam bahasa Arab disebut syahr.  Kata Syahr (شهر) terdiri dari huruf syin, ha, dan ra’ merupakan huruf asli yang menunjukkan atas jelas dan terangnya suatu perkara. Kata syahr dalam Bahasa Arab sering disebut dengan hilal. Kemudian setiap tiga puluh hari dinamai dengannama hilal, ada yang mengatakan dinamai syahr.[1]
Sedangkan menurut syara’, ketika kata syahr disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah syahr hilali[2] atau hilal qamari. Bulan hijriyyah  yang dalam Bahasa Arab disebut Syahr Qamari/syahr hilali adalah waktu yang diperlukan oleh bulan selama dua kali ijtima’ berturut-turut, yaitu selam 29 hari 12 jam 44 menit 02.8 detik. Dalam astronomi disebut”bulan sinodis”.[3]
C.       PENGERTIAN RUKYATUL HILAL
Rukyah menurut bahasa artinya melihat dengan mata kepala atau dengan akal[4]. Rukyah  merupakan bentuk masdar dari kata kerja raâ. Rukyah yang berarti melihat dengan mata kepala muta’addi pada satu maf’ul sedangkan yang bermakna mengetahui (melihat dengan ilmu) muta’addi pada dua maf’ul.[5]  Sedanglan hilal adalah bagian bulan yang terang yang tampak dari bumi pada awal bulan. Ada yang mengatakan hilal adalah nama bagi bulan sabit yang berumur dua hari pada setiap awal bulan dan ada yang mengatakan bulan sabit yang berumur satu sampai tiga hari pada setiap awal bulan. Menurut Abu Ishaq bahwa menurut pendapat mayoritas yang dinamai dengan hilal adalah bulan yang berumur satu sampai dua hari pada setiap awal bulan. Bentuk jamak dari hilal adalah ahillah. Menurut Ibnu Abbas, alasan dinamai hilal adalah karena orang-orang berteriak-teriak ketika mengabarkan hilal tersebut.[6]
Dalam kamus ilmu falak disebutkan, hilal atau ”bulan sabit” yang dalam astronomi dikenal crescent adalah bagian bulan yang tampak terang dari bumi sebagai akibat cahaya matahari yang dipantulkan  olehnya pada hari terjadinya ijtima’ sesaat setelah matahari terbenam. Apabila setelah matahari terbenam hilal tampak maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan berikutnya.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan rukyatul hilal menurut syara’ adalah kesaksian hilal dengan mata kepala setelah terbenamnya matahari pada hari ke dua puluh sembilan menjelang bulan baru hijriyyah dari orang yang beritanya dapat dipercaya dan kesaksiannya dapat diterima. Dengan rukyah tersebut ditetapkan masuknya bulan baru.[8] Dalam kamus ilmu falak disebutkan, rukyatul hilal adalah usaha melihat atau mengamati hilal di tempat terbuka dengan mata telanjang atau peralatan pada sesaat matahari terbenam menjelang bulan baru hijriyyah.[9]


D.       PENGERTIAN ILMU HISAB
Hisab menurut bahasa artinya perhitungan[10] dan falak artinya lintasan benda-benda langit. Sedangkan menurut istilah, ilmu hisa/ilmu falak (hisab falaki) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit pada orbitnya masing-masing untuk diketahui posisi suatu benda langit terhadap benda langit lainnya agar diketahui pengaruhnya terhadap perubahan waktu di muka bumi. Ilmu falak ini dikenal dengan ilmu hisab karena ilmu falak menggunakan perhitungan.[11]
E.         METODE PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYYAH
Secara garis besar ada dua metode dalam menentukan awal bulan qamariyyah, khususnya pada bulan-bulan yang ada kaitannya dengan ibadah seperti Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, yaitu metode rukyat dan metode hisab[12]. Untuk memahami kedua metode tersebut saya akan paparkan metode-metode  tersebut secara berurutan;
1.        Penetapan dengan rukyatul hilal
Rukyatul hilal dilakukan pada saat matahari terbenam tanggal 29 Sya’ban untuk menentukan 1 Ramadhan, tanggal 29 Ramadhan untuk menentukan 1Syawwal, dan tanggal 29 Dzulqa’idah untuk menentukan 1 Dzulhijjah. Bila pada malam tanggal 29 pada bulan-bulan tersebut rukyat berhasil -hilal dapat dilihat- maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal baru bulan berikutnya.[13]
Dalil yang menjadi dasar dari metode ini adalah hadits Nabi saw. antara lain:
a.       Hadits riwayat Abu Hurairah
 (صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته)
"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.”.[14]
b.      Hadits riwayat Ibnu ‘Umar
(إذا رَأيتُموهُ فصوموا، وإِذا رأَيتُموهُ فأفطِروا فإن غُمَّ عليكم فاقْدرُوا له)
"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.” Bila hilal itu tertutup awan maka kira-kirakanlah ia. [15]
c.       Hadits riwayat Ibnu Umar
(لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حتى تَرَوْا الهِلاَلَ أوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حتى تَرَوْا الهِلاَلَ أوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ)
"Janganlah masuk bulan sampai melihat hilal atau menyempurkan bilangan Sya’ban 30 hari; kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau  menyempurkan bilangan Ramadhan30 hari. [16]
Semua hadits tersebut menunjukkan bahwa penetapan awal bulan hijriyyah haruslah didasarkan pada rukyatul hilal.
Penetapan dengan istikmal
Istikmal atau ikmal artinya “menyempurnakan”, yaitu langkah menyempurnakan bilangan hari dalam satu bulan qamariyyah menjadi 30 hari.[17]
Metode istikmal ini merupakan turunan dari metode rukyatul hilal. Metode ini digunakan manakala rukyatul hilal tidak berhasil. Sehingga ketika malam tanggal 30 bulan hiriyyah tidak terlihat hilal, maka bulan itu disempurnakan bilangannya menjadi 30 hari dan hari setelah tanggal 30 tersebut adalah tanggal baru bulan berikutnya.
Dalil yang menjadi dasar dari metode ini adalah hadits Nabi saw. antara lain:
a.       Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 185:
﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
 “Barang siapa hadir pada  maka berpuasalah!”.
b.      Hadits riwayat Ibnu Umar 
(الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ)
"Bulan itu dua puluh Sembilan malam; Maka janganlah janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal, apabila langit tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. [18]

c.       Hadits riwayat Ibnu ‘Umar
(فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ)
"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.” Bila hilal itu tertutup awan maka tentukanlah  ia menjadi 30 hari. [19]

Dari hadist tersebut dipahami bahwa umur bulan hijriyyah tersebut tidak lebih dari 30 hari. Apabila hilal terlihat pada malam tanggal 30 maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu untuk bulan berikutnya; Namun apabila hilal tidak terlihat maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari ke 30 untuk bulan yang sedang berlangsung.
Allah swt telah mempertalikan hukum-hukumnya dengan ‘illat syar’iyyah, ketika ‘illat tersebut ditemukan maka terwujud pula hukum Allah,[20] demikian juga sebaliknya. Telah ditetapkan dengan nash al-Qur’an dan sunnah bahwa ‘illat dari kewajiban mengawali puasa dan mengakhirinya adalah rukyah hilal dengan mata, bukan hanya dengan ilmu. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 101:
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$#
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qasharsembahyang(mu)”.
Syâri menjadikan safar sebagai ‘illat dibolehkannya shalat qashar, ketika ‘illat itu tiada maka tidak diperbolehkan shalat qashar, demikian juga sebaliknya.
Misalnya lagi Nabi menjadikan melihat matahari atau rembulan yang gerhana sebagai ‘illat disunnahkannya shalat gerhana.
(إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَقُومُوا فَصَلُّوا)
"Sesunggunya matahari dan rembulan tidaklah gerhana karena matinya seseorang, maka berdiri dan shalatlah ketika kalian melihatnya! "[21]
Jika tidak melihat gerhana maka tidak disunahkan shalat gerhana. Demikian juga untuk masalah lain yang serupa.
2.        Penetapan dengan metode hisab
Penetapan dengan metode ini diperselisihkan ‘ulama, sebagian besar menolaknya secara total.[22]
Ibnu Rusydi dalam kitab bidayat al-mujtahid mengatakan: “Diriwayatkan dari sebagian ‘ulama salaf bahwasannya ketika hilal tertutup awan maka (penentuan awal bulan) dikembalikan ke ilmu hisab. Inilah madzhab Mutharif  bin Syakhir, seorang pembesar  tabi’in. Namun  penetapan dengan hisab itu dilakukan manakala hisab itu memberikan data bahwa sebenarnya hilal itu dapat terlihat, namun karena tertutup awan sehingga tidak terlihat. Yang menjadi penyebab persoalan adalah makna mujmal yang terdapat dalam hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, ketika hilal tertutup awan maka tentukanlah!. [23]
Namun sebelumnya perlu dipahami bahwa hisab yang dimaksud disini adalah hisab haqiqi, bukan hisab ‘urfi. Sebagaimana kita ketahui bahwa hisab itu secara garis besar ada dua macam, yaitu:
a.       Hisab ‘urfi
Hisab ‘urfi adalah system perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender syamsiyyah, bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Sehingga sitem hisab ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan qamariyyah untuk pelaksanaan ibadah 9awal dan akhir ramadhan) karena menurut system ini umur bulan sya’ban dan ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk sya’ban dan 30 hari untuk ramadhan.[24]
b.      Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut system ini, umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. Bahkan boleh jadi bergantian seperti manurut hisab ‘urfi.[25] Hisab inilah yang oleh sebagian fuqaha dipakai untuk menetapkan awal bulan hijriyyah.
Terkait penetapan bulan hijriyyah dengan metode hisab ini ada beragam pendapat. Diantara pendapat tersebut yang terpenting adalah:
a.     Tidak diperkenankan secara mutlak berpegangan terhadap ilmu hisab dalam penetapan awal bulan hijriyyah. Pendapat inilah yang dipegangi oleh mayoritas ‘ulama. [26]  Dalil yang menjadi dasar antara lain: 
1)      Hadits riwayat Abu Hurairah
)إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْماً(
Dalalah  hadits tersebut adalah bahwa syara’ telah menjadikan tanda awal bulan, yaitu hilal,bukan yang lain. Dan tidak ada batasan lain selain hilal.
2)      Hadits riwayat Ibnu Abbas
(الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ)
Dalalah  hadits tersebut adalah bahwa syara’ telah membatasi cara menetapkan awal bulan dengan dua cara, yakni rukyatul hilal dan menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari.
3)      Hadits riwayat Ibnu Abbas
(لا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وأفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فإنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَابَةٌ فأكْمِلُوا ثلاثين يَوْماً)
4)      Hadits riwayat ‘Aisyah ra;
(كَانَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مالاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ، ثُمَّ يَصُومُ لرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ، فَإِنْ غُمَّ علَيْهِ عَـدَّ ثَلاَثِينَ يَوْماً ثُمَّ صام) (حديث صحيح)
“Rsulullah saw berhati-hati terhadap bulan sya’ban melebihi bulan yang lain; kemudian beliau berpuasa karena melihat hilal bulan ramadhan. Apabila tertutup awan maka Beliau menggenapkan bilangan sya’ban menjadi 30 hari, lalu beliau berpuasa”.[27]
Dalalah  kedua hadits tersebut adalah bahwa Nabi saw. memerintahkan kita untuk berpuasa karena melihat hilal dan ketika tertutup awan kita diperintahkan untuk menyempurnkan bilangan sya’ban menjadi 30 hari. Nabi tidak meninggalkan pilihan yang lain dan tidak pula memerintahkan kita supaya merujuk pada ahli falak. Jikalau perkataan ahli falak merupakan dasar dalam menetapkan awal bulan niscaya Nabi saw menjelaskannya. Itulah makna dzahir nash yang wajib dipegang. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
اَلْاَصْلُ عَدَمُ صَرْفِ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِهِ اِلاَّ اِذَا اقْتَضَى ذَلِكَ دَلِيْلٌ
"Pada dasarnya tidak diperbolehkan memalingkan lafadz dari makna dzahir-nya kecuali ada dalil". [28]

Pendapat pendukung hisab
Bahwa kata rukyah dalam al-Qur’an itu memiliki enam makna pokok, yaitu:
1)      Bermakna mengetahui sesuatu.
2)      Bermakna estimasi dan perhitungan.
3)      Bermakna perhitungan ilmiyah murni.
4)      Bermakna penglihatan.
5)      Bermakna pengingatan.
6)      Bermakna mimpi.
Lebih lanjut pendukung hisab mengatakan, “Empat makna yang pertama memiliki persamaan arti dengan dengan kata syahida. Maka dari itu dapt disimpulkan bahwa kata raâ yang terdapat pada hadits tidak dapat diartikan rukyat dengan mata telanjang, bahkan mencakup semua makna di atas.
Sehingga manakala salah satu makna dari empat makna tersebut dapat dicapai, maka bulan baru dianggap telah masuk bulan baru.[29]

Bantahan terhadap argumentasi pendukung hisab
Kalau kita kembali pada asal kata رأى  , bahawasannya kata tersebut diperuntukkan untuk dua makna, yaitu rukyah bashariyyah (melihat dengan mata) dan rukyah ‘ilmiyyah (melihat dengan ilmu). Keenam makna di atas pada dasarnya merupakan cabang dari dua makna ini.
Setelah kita mengetahui hal itu, kita tinggal menentukan makna yang mana yang sesuai untuk memaknai kata rukyah yang ada dalam hadits di atas. Makna yang tepat untuk kata rukyah dalam hadist Nabi di atas adalah rukyah bashariyyyah, alasannya sebagai berikut:
1)      Rukyah Bashariyyah sesuai dengan petunjuk perilaku Rasul saw.. Beliau  mengamat-amati hilal, kemudian jika beliau melihatnya pada malam tanggal 30 sya’ban maka beliau berpuasa, namun jika tidak beliau menyempurnakan bilangan sya’ban menjadi 30 hari. Pengamatan beliau itu menunjukkan maksud dari sabda beliau:   َصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ (Berpuasalah karena melihat hilal!), maksudnya adalah: صوموا لرؤيته الرؤية البصرية (Berpuasalah karena melihat hilal dengan penglihatan mata!). Demikian juga perilaku shahabat setelah beliau juga melakukan hal serupa. Mereka memahami rukyah yang tersebut dalam hadits adalah rukyah bashariyyah, bukan rukyah ‘ilmiyyah. Mereka lebih mengetahui bahasa Arab dan maqashid syari’ah daripada yang lain.
2)      Kata [رأى] dalam Bahasa Arab ketika muta’addi pada satu maf’ul itu bermakna bashariyyah, dan ketika muta’addi pada dua maf’ul bermakna ‘ilmiyyah.[30] Dalam hadits di atas kata رؤية hanya muta’addi pada satu maf’ul sehingga dapat dipastikan maknanya adalah rukyah bashariyyah (penglihatan dengan mata kepala).
3)      Sabda Nabi (فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan rukyah adalah rukyah bashariyyah, tidak ada ruang untuk memaknai dengan rukyah ilmiyyah. Jikalau Nabi menghendaki makna rukyah ‘ilmiyyah niscaya beliau tidak bersabda فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ.
b.     Wajib  berpegang teguh pada hisab
Penentuan awal bulan hijriyyah dengan hisab ini masih diperdebatkan. Satu pihak  menetapkan hisab sebagai penentu masuknya tanggal baru dan tidak perlu rukyat dalam setiap keadaan, sedangkan yang lain menetapkan hisab hanya sebagai pendukung pelaksanaan rukyat, bukan sebagai penentu kecuali bila ahli hisab sepakat bahwa hilal masih di bawah ufuk kemudian ada laporan tentang keberhasilan rukyat maka laporan itu ditolak dan hasil hisablah yang dipakai.[31]
Dalil yang dijadikan dasar antara lain:
1)      Hadits riwayat Ibnu Umar
(إذا رَأيتُموهُ فصوموا ، وإِذا رأَيتُموهُ فأفطِروا ، فإن غُمَّ عليكم فاقْدُرُوا له)
“Ketika kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan ketika kalian melihatnya lagi maka berbukalah!. Apabila hilal tertutup awan maka hitunglah!
Dalalah hadits tersebut memberikan isyarat untuk menggunakan takdir, hisab, dan menggunakan hati dan akal. Kalimat فاقْدُرُوا له dalam hadits ini diartikan perhitungan dengan hisab astronomi. Artinya jika bulan tertutup awan maka buatlah perhitungan secara astronomi. Jika menurut perhitungan, posisinya sudah tinggi dan memungkinkan terlihat seandainya tidak ada penghalang, maka akhirilah bulan berjalan dan mulailah bulan baru. Jadi dalam hadits ini terdapat isyarat penggunaan hisab.[32]
Bantahan terhadap argumentasi di atas
Perlu diketahui bahwa hadits yang semakna dengan hadits tersebut itu redaksinya sangat beragam, yaitu:
1- فأتموا العدة ثلاثين.
2- فأتموا شعبان ثلاثين.
3- فأكملوا ثلاثين.
4- حتى تروا الهلال أو تكملوا العدة.
5- فصوموا ثلاثين.
6- أحصوا عدة شعبان لرمضان.
7- فأكملوا العدة ثلاثين . من حديث ابن عمر.
8- فأكملوا العدة ثلاثين فإنها ليست تغمى عليكم . أبو هريرة.
9- فعدوا ثلاثين . أبو هريرة ، وابن عمر.
10-  فاكلموا العدة . أبو هريرة.
11-  فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً . أبو هريرة.
12-  فصوموا ثلاثين يوماً . أبو هريرة.
13-  فعدوا له ثلاثين يوماً. ابن عمر.
14-  فاقدروا له ثلاثين . أبو هريرة ، وابن عمر.
15-  فاقدروا له . أبو هريرة ، وابن عمر.[33]
Kalau bermacam-macam riwayat tersebut kita menemukan satu nash yang mujmal, yaitu (فاقْدُرُوا له) ditafsiri dengan 14 riwayat dengan bentuk nash yang mufassar. Dalam kaidah ushul fiqih, nash yang mujmal itu ditetapkan sesuai ke-mujmal-annya sampai ada nash lain yang menafsisri.[34] Dan nash yang mufassar harus diamalkan apa adanya, tidak boleh dipalingkan dari makna dzahirnya.[35] Sehingga nash yang mujmal di atas harus dimaknai dengan nash yang mufassar, tidak boleh kalimat  (فاقْدُرُوا له) diartikan “maka hisablah!”, tetapi harus diartikan “maka tentukanlah bilangannya menjadi 30 hari”.
2)      Hadits riwayat Ibnu Umar
إنّا أُمَّةٌ أُمِّيةٌ لا نَكتُبُ ولا نَحسُبُ ، الشهرُ هكذا وهكذا. يَعني مرَّةً تسعةً وعشرينَ ومرَّةً ثلاثين
“Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak pandai menulis dan berhitung. Bulan itu segini, segini”; Maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.
Aspek istidlal: ‘Hadits ini merupakan penegasan ‘illat mengapa Nabi saw memerintahkan rukyat untuk mengawali dan mengakhiri bulan ramadhan. ‘Illat tersebut adalah keadaan umat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara luas baca tulis dan ilmu hisab. Sehingga ketika ‘illat itu telah hilang, , maka tidak lagi digunkan rukyat,melainkan digunakan hisab. Karena hisab merupakan sarana yang lebih memberikan kepastian. Ini sesuai dengan kaidah fiqih, “Hukum berlaku menurut ada atu tidaknya ‘illat. Berdasarkan ini, ditetapkan suatu kaidah: “Pada asasnya penetapan bulan qamariyyah itu adalah dengan hisab.[36]
Bantahan terhadap argumentasi di atas
Sebagaimana yang diketahui dalam bahasa, apa yang dibeberkan dengan ucapan sebagaimana yang dibeberkan dengan tingkah laku itu berimplikasi hukum. Demikian halnya dalam masalah iman, nadzar, dan thalaq. Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak pandai menulis dan berhitung” oleh beliau iringi dengan sabda: “Bulan itu segini, segini”; Maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, itu merupakan berita dari Nabi untuk umatnya bahwa dalam urusan hilal mereka tidak bertumpu pada tulisan dan hitungan, karena bulan itu adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari yang cara mengetahui awal bualannya adalah dengan rukyah atau ikmal sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
3)      Bahwasannya rukyah bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan bulan qamariyyah. Oleh karena itu apabila ditemukan sarana yang lebih baik dan lebih memberikan kepastian, dalam hal ini hisab, maka digunakanlah sarana tersebut.[37]
Bantahan terhadap argumentasi di atas
Bahwasannya Rasul saw. membatasi penetapan masuknya  bulan hijriyyah dengan rukyah sebagaimana dalam hadits: “Janganlah masuk bulan sampai melihat hilal atau menyempurkan bilangan Sya’ban 30 hari; kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau  menyempurkan bilangan Ramadhan 30 hari.” Beliau membatasi masuknya bulan baru dengan rukyah itu bukan berarti bahwa rukyah itu hanyalah sebuah wasilah, namun hal itu berfaedah dilarangnya menggunakan metode lain selain rukyah untuk menetapkan awal bulan.
4)      Meng-qiyas-kan penetapan awal bulan qamariyyah dengan metode hisab atas penetapan waktu shalat dengan menggunakn metode hisab. Bahwasannya shalat itu sekarang di semua penjuru dunia hanya didasarkan pada hisab. Tidak ada diantara ulama muslim yang berpegangan dengan rukyah matahari dengan mata kepala untuk mengetahui masuknya waktu shalat. Kalau penggunaan hisab untuk tanda masuknya waktu shalat diakui semua ‘ulama muslim, tiada pertentangan, lalu apakah yang mencegah penerapan hisab untuk penentuan awal bulan hijriyyah?.
Bantahan terhadap argumentasi ini
Qiyas tersebut merpakan qiyas yang bathil; karena maqis ‘alaih-nya tidak ditetapkan dengan nash. Ketetapan maqis ‘alaih dengan nash merupakan syarat bagi ashl yang dijadikan maqis ‘alaih. Dan syarat yang kedua hukum pada maqis ‘alaih itu haruslah ma’qul al-ma’na (dapat dinalar)  seperti keharaman khamr.[38] Adapun hukum pada maqis ‘alaih yang bersifat ta’abbudi seperti waktu shalat dan jumlah bilangan reka’at itu tidak boleh di qiyaskan; karena sesuatu yang maknanya tidak bisa dinalar tidak mungkin untuk menjadikan hukumnya sebagai hukum bagi yang lain.[39]

Tidak bermaksud menutup mata terhadap kemajuan ilmu falak ataupun ilmu astronomi sekarang ini, penulis belum menemukan hal baru dalam perdebatan masalah ilmu falak. Kalau kita mau membuka buku, 600 tahun yang lalu Imam Nawawi sudah mengatakan dalam kitab al-majmu’ bahwa visibilitas hilal di kalangan astronom itu memang beragam. Ptolomeus yang hidup 140 SM sudah memperdebatkan hal ini. Diantara mereka sudah menemukan visibilitas hilal dapat terlihat itu pada  kisaran ketinggian hilal 8 derajat di atas ufuk.[40]
Apa bedanya dengan penemuan sekarang?; para ahli falak sekarang masih berbeda pendapat tentang berapa ukuran (dalam mengukur) ketinggian hilal (irtifa’ hilāl) yang mungkin dapat dilakukan rukyat bi al-fi’li. Ada yang mengatakan 8°, 7°, 6°, 5° dan lain sebagainya. Selain ukuran ketinggian hilal sebagai syarat untuk dapat dirukyat, ada pula yang menentukan unsur lainnya yaitu sudut pandang (angular distance) antara hilal dan matahari.[41]
Namun demikian penulis berpendapat bahwa ilmu hisab dan rukyat bukanlah dual yang terpisahkan satu sama lain, namun saling mendukung. Hisab tidak dapat menggantikan posisi rukyah sebagai ’illat memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan, namun menjadi alat bantu agar rukyah dapat berhasil dengan baik dan ilmiyyah. Ketika hisab akurat, hilal akan terlihat jikalau tidak terhalang. Fakta di Indonesia, ketika ketinggiann hilal di atas 2 derajat, penentuan awal Ramadhan dan Syawwal tidak ada masalah, artinya sama.




F.        KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah ini dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.        Syâri’ telah memerintahkan bahwa penetapan awal hijriyyah, khususnya bulan Ramadhan dan Syawwal haruslah didasarkan pada rukyah atau istikmal. Syari tidak memberi pilihan lain selain itu.
2.        Syâri telah menjadikan rukyah bashariyyah sebagai ‘illat syar’iyyah yang mewajibkan untuk mengawali puasa Ramadhan dan mengakhirinya.
3.        Ada dua kesalahan ketika menetapkan awal bulan hijriyyah dengan menggunkan hisab, yaitu:
a.     Menggugurkan ‘illat syar’iyyah yang mewajibkan berpuasa dan berbuka, yaitu rukyatul hilal.
b.    Membuat ‘illat baru untuk berpuasa dan berbuka yang tidak disyari’atkan oleh Allah swt, yaitu hisab.
4.        Rukyah yang benar harus didasarkan dengan perhitungan ilmu falak yang akurat.
5.        Dengan metode rukyah, kita tunduk pada perintah Syâri dan kesatuan umat dalam penetapan bulan hijriyyah akan  terwujud.







DAFTAR  PUSTAKA
 Buku-buku
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008)
An-Nawawi, Al-Majmu’, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
An-Nawawi, Syarhu Nawawi ‘Ala Muslim,  dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Bukhari, shahih Bukhari, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, bab qaul al-Nabi: idza raaitum,  website: http://www.shamela.ws
Daud, Abu, Sunan Abi Daud, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Faris, Ibnu, Maqayis al-Lughah, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Khazin, Muhyiddin,  Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005)
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah Dakwah al-Islamiyyah)
Mandzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung persada, 2009), hlm. 150
Muslim, shahih Muslim, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Rusydi, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 1, hlm. 228, website: http://www.shamela.ws
Ridha, Mu hammad Rasyid dkk, Hisab Bulan Qamariyyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah)
Taimiyyah, Ibnu, Majmu’ Fatawi Ibni Taimiyyah, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PP. Muhammadiyah, t.t.
Umar, Abu, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, website: http://www.shamela.ws
Makalah-makalah
Abdul Mufid, “Kontekstualitas Metode Hisab Dalam Penentuan Awal Syawal di Indonesia (Kritik Terhadap Madzhab Rukyat”, ( 15 Juli 2007). Diambil dari majalah Al-Azhar tulisan Dr. Amir Husain Hasan., hlm. 1315-1316 bulan sya’ban 1418 H.
Hasun, Fahd  bin Ali, Dukhul al-Syahri al-Qamari baina Rukyat al-Hilal Wa al-Hisab al-Falaki, http://www.scribd.com/doc/937451.


[1] Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 3, hlm. 173, website: http://www.shamela.ws
[2] Abu ‘Umar, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 1, hlm. 9341, website: http://www.shamela.ws
[3] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), hlm. 76
[4] Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, juz 2, hlm. 392
[5] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 14, hlm. 291, website: http://www.shamela.ws
[6] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, juz 11, hlm. 701
[7] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hlm. 30
[8] Abu ‘Umar, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 1, hlm. 7597
[9] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hlm. 69
[10] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 262
[11] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hlm. 34
[12] Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung persada, 2009), hlm. 150
[13] Ibid
[14] Bukhari, shahih Bukhari, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 6, hlm. 481, bab qaul al-Nabi: idza raaitum,  website: http://www.shamela.ws
[15] Muslim, shahih Muslim, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 5, hlm. 344, website: http://www.shamela.ws
[16] Ibid, hlm. 341
[17] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, hlm. 37
[18] Bukhari, Shahih Bukhari , juz 6, hlm. 479
[19] Muslim, Shahih Muslim , juz 5, hlm. 341
[20] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 65
[21] Ibnu  Majah,  Sunan Ibnu  Majah, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 4, hlm. 135, website: http://www.shamela.ws
[22] Fahd bin Ali Hasun, Dukhul al-Syahri al-Qamari baina Rukyat al-Hilal Wa al-Hisab al-Falaki, hlm. 31, http://www.scribd.com/doc/937451.
[23] Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 1, hlm. 228, website: http://www.shamela.ws
[24] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 80
[25] Ibid, hlm. 78
[26] An-Nawawi, Syarhu Nawawi ‘Ala Muslim,  dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 4, hlm. 47, website: http://www.shamela.ws
[27] Abu Daud, Sunan Abi Daud, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 6, hlm. 262, website: http://www.shamela.ws
[28] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah Dakwah al-Islamiyyah), hlm 163
[29] Abdul Mufid, “Kontekstualitas Metode Hisab Dalam Penentuan Awal Syawal di Indonesia (Kritik Terhadap Madzhab Rukyat”, ( 15 Juli 2007), hlm. 8. Diambil dari majalah Al-Azhar tulisan Dr. Amir Husain Hasan., hlm. 1315-1316 bulan sya’ban 1418 H.
[30] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, juz 14, hlm. 291.
[31] Maskufa, Ilmu Falak, hlm. 162
[32] Muhammad Rasyid Ridha dkk, Hisab Bulan Qamariyyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah), hlm. 9
[33] Fahd bin Ali Hasun, Dukhul al-Syahri al-Qamari baina Rukyat al-Hilal Wa al-Hisab al-Falaki, hlm. 40, http://www.scribd.com/doc/937451.
[34] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah Dakwah al-Islamiyyah), hlm 173
[35] Ibid, hlm. 167
[36] Muhammad Rasyid Ridha dkk, Op. Cit, hlm. 8
[37] Ibid, hlm. 9
[38] Abdul Wahhab Khallah, Ilmu Ushul Fiqih, hlm 61
[39] Fahd bin Ali Hasun, Dukhul al-Syahri al-Qamari baina Rukyat al-Hilal Wa al-Hisab al-Falaki, hlm. 44, http://www.scribd.com/doc/937451.

[40] An-Nawawi, Al-Majmu’, dalam al-maktabah al-syamilah, al-ishdar al-tsani, juz 6, hlm. 75, website: http://www.shamela.ws
[41] Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PP. Muhammadiyah, t.t. hlm. 157.

No comments:

Post a Comment